The Power of Remembering

Oleh: Mohammad Dinul Qoyyim Al Khafidz
IAT Angkatan 2015
IAIN Tulungagung

     Belajar dalam bahasa arab berasal dari susunan komponen fi’il khumasi muta’addi; ta’allama, yata’allamu-ta’alluman berarti belajar. Hal ini juga berlaku kata darasa-yadrusu yang bersinonim. Meskipun pada akhir abad ke-3 oleh Tsa’lab yang kemudian diikuti oleh Ibn al-Faris menolak adanya sinonimitas. Pada kosa kata bahasa inggris disebut dengan Learning, yakni “the process of acquiring new or modifying existing knowledge, behavior, skills, values, or preferences.” kitab kecil ushul fiqh Mabadi’ Awwaliyah karya Abdul Hamid al-Hakim, belajar Ilmu adalah belajar tentang sesuatu yang mana sesuatu itu memiliki sifat terbukanya yang dicari dengan terbelalak sempurna. Dra. Hj. Syakilah., M.Pd dalam tulisannya “Belajar Menurut Islam”, ia mengemukakan proses membangun makna atau pemahaman terhadap informasi dan pengalaman.
     Mengenai belajar dalam ranah agama islam sudah disinggung oleh ayat yang pertama kali turun kepada Nabi, yakni surah al-’Alaq, dengan kata Iqra’, bacalah. Kata ini tidak hanya bisa dimaknai secara historis yakni bacalah, tapi juga bisa dimaknai secara lebih luas lagi, belajarlah, lihatlah dan lain sebagainya. Manusia dituntut untuk belajar apapun, dimanapun, dan kapanpun. Kata iqra’ ini juga digunakan oleh muslim spanyol pada abad 8 sebagai motivasi intrinsik mereka membangun kejayaan islam. Tidak hanya berhenti pada ayat tersebut, masih banyak ayat-ayat al-Qur’an lain yang mengindikasikan tentang belajar, seperti Tafakkaru, Afalata’qilun, Afala ta’lamun dan masih banyak lagi.
     Orang yang berilmu dan ilmu sangat dijujung tinggi oleh semua kalangan. Baik kalangan umum maupun agamawan. Seperti BJ. Habibie yang telah memunculkan karya anak bangsa yakni sebuah pesawat. Ia belajar jauh keluar negeri demi menjunjung martabat bangsa. Namun kenyataan berkehendak lain. Fazlur Rahman dengan teori double movement yang mana gaya berfikirnya menurut ulama’ kuno sangat berbahaya namun pandangannya di masa sekarang cukup banyak dikagumi dan dikaji Dr. Maurice Bucaille dengan karya yang cukup monumental, La Bible Lecoranet :a Science, Bible Quran dan Sains Modern, ia membandingkan al-Qur’an sebagai pacuan utama dengan obyek Bible dan Sains Modern. Dan lain sebagainya.
Kemudian, dikalangan pendidikan non-formal yang dianggap agamis adalah pesantren. Pesantren merupakan miniatur pendidikan agama yang mana mengajarkan nilai-nilai akhlak dan agama di dalamnya. Umumnya pesantren memiliki sanad keguruan ada pula yang berbentuk sanad. Seperti yang saya kutip dari Ustadz Muntahibun Nafis, Direktur Pusat Studi Pesantren Tulungagung. Beliau berkata, “Dahulu pesantren merupakan pesantren indonesia, namun berbeda dengan zaman sekarang, banyak sekali pesantren di indonesia.” Banyak pesantren yang berdiri di indonesia bukan pesantren indonesia. Ustadz Nafis berkeinginan inti dari pesantren seperti dahulu, yakni tergali dari bumi akarnya. Bukan berdiri dengan sendirinya. Dahulu pesantren bermula dari KH. Kholil Bangkalan, kemudian santri-santrinya berpulang dan sukses mendirikan pesantren.
     Di samping itu, melihat kondisi pesantren yang merupakan pusat peradaban keilmuan agama. Hal ini juga tak terlepas dari perjuangan santri berjuang untuk menuntut ilmu. Banyak sekali trik belajar di pesantren; ada yang berupa pengajian kitab, bahtsul masa’il, ada yang mengabdi kepada kyai, ada yang sorogan dan mengajar, ada yang disuruh menjadi ustadz dan lain sebagainya. Hal itu merupakan arus belajar santri dari berbagai hal. Namun segala bentuk pengabdian tak luput dari iqra’, yakni membaca. Membaca bisa diartikan banyak hal. Ada yang membaca buku, membaca ibrah kehidupan sekitar, bahkan ngobrol di warung kopi dalam tanda kutip membahas hal yang manfaat bisa disebut dengan iqra’.
     Jika ditelisik kepribadian santri, tak semua santri sukses dan tak pula yang sedikit galau. Pengabdian terhadap intensitas santri sangatlah penting, tetapi pengembangan akhlak dan keilmuan personal juga penting. Ketika ada santri sukses, kesuksesan tersebut tak terpisahkan dari usahanya. Meskipun pahit kalau dinikmati pasti akan membuahkan hasilnya. Justru sesuatu yang stagnan, lurus tanpa ada hambatan tidak ada kenikmatan yang dirasa kelak. Disisi yang lain juga terdapat kegelisahan yang bisanya terasa saat keluar pondok atau sudah di wisuda. Saat mau keluar kebanyakan testimoni santri merasa “kok sudah perpisahan, padahal aku serasa baru saja daftar.” Ada pula yang merasa bahwa mondok beberapa tahun tetapi tidak mengerti apapun.
     Kegelisahan tersebut, bisa dilihat dari beberapa faktor diantaranya; pertama, mereka merasa baru daftar karena berkurangnya atau melencengnya niat awal. Niat sangatlah penting dalam melakukan segala perbuatan. Baik berupa ibadah maupun muamalah. Dari pendapat yang keras bahwa tidak ada suatu amal ibadah yang sah jika tidak disertai dengan niat. Ada pula pendapat bahwa jika muamalah didampingi dengan niat ibadah ikhlas lillahi ta’ala. Setelah niat awal dilakukan, saat proses belajar mereka pasti diuji dengan pantangan-pantangan yang ada. Baik berupa ujian psikis maupun fisik. Teman sebaya disekitarnya juga merupakan faktor yang cukup berpengaruh kira-kira 70% mengisi dan membentuk kepribadian personal santri. Jadi relasi terhadap teman juga sangat berpengaruh dalam proses belajar keilmuan. Jadi setiap santri haruslah menancapkan keyakinan yang kuat dan membuat tendensi agar niat dan proses belajar tetap berjalan pada relnya.
Yang kedua adalah kemalasan. Malas merupakan musuh utama bagi para santri. Kemalasan merupakan tangkai yang mati, yang tidak menumbuhkan buah apapun. Terdapat kata-kata mutiara dari orang arab. Ijhad wala taksal, wala takun ghafilan, fanadamatun uqba liman yatakasalu. Yang artinya “Bersungguh-sungguhlah dan jangan bermala-malas dan jangan pula lengah, karena penyesalan itu bagi orang yang bermalas-malas.” Banyak penyesalan datang dari bermalas. Hal ini tidak banyak disadari baik dari santri maupun siswa dan mahasiswa sekalipun. Dari kedua alasan tersebut maka perlu disadari bahwa untuk menebas kegagalan ialah paling tidak dengan menghapus dua hal di atas.
     Di samping berbeloknya niat dan munculnya sikap malas. Faktor yang lain adalah hilangnya tradisi remembering, muthola’ah atau mengingat kembali apa yang sudah dipahami dan dipelajari. Kelihatannya remeh, justru posisi belajar berikut ini lebih membangun daripada saat pemahaman dikelas. Remembering secara berkala dan dibiasakan mengingat semua hal pembelajaran selama seminggu akan membangun dan meningkatkan tingkat kecerdasan dan keprofessionalan personal santri, siswa maupun mahasiswa. Jika demikian sering dan istiqamah dilakukan, niscaya ia akan mempermudah diri untuk mencapai keprofessionalan dan kesuksesan.
#Kangkhafidz

Previous
Next Post »
Thanks for your comment